Selasa, 17 April 2012

UNSUR-UNSUR KARYA SASTRA

A. Unsur-Unsur Pembangun Puisi
Berikut ini diuraikan unsur-unsur pembangun puisi yang harus Anda cermati.
Unsur tersebut adalah bunyi, diksi, bahasa kiasan, citraan, sarana retorika,
bentuk visual, dan makna. Pemahaman unsur-unsur puisi tersebut akan menjadi
bekal bagi Anda untuk mempelajari paket 4, 5, 6, dan 7.
Bunyi
Bahasa puisi cenderung mendaya-gunakan unsur perulangan bunyi. Dalam
puisi, bunyi memiliki peran antara lain agar puisi itu merdu jika dibaca dan
dide-ngarkan, sebab, pada hakikatnya puisi adalah salah satu karya seni
yang diciptakan untuk didengarkan (Sayuti, 2002:102). Mengingat
pentingnya unsur bunyi, pemilihan dan penempatan kata sering kali
didasarkan pada nilai bunyi. Beberapa pertimbangan tersebut antara lain
adalah (1) bagaimanakah kekuatan bunyi suatu kata yang dipilih itu
diperkirakan mampu memberikan atau membangkitkan tanggapan pada
pikiran dan perasaan pembaca atau pendengamya; (2) bagaimanakah bunyi
itu sanggup membantu memperjelas ekspresi; (3) ikut membangun suasana
puisi, dan (4) mungkin juga mampu membangkitkan asosiasi-asosiasi tertentu
(Sayuti, 2002:103).
Dilihat dari segi unsur bunyi itu sendiri dikenal adanya sajak sempurna,
sajak paruh, aliterasi, dan asonansi. Dari posisi kata yang mendukungnya
dikenal adanya sajak awal, sajak tengah (sajak dalam), dan sajak akhir.
Berdasarkan hubungan antar baris dalam tiap bait dikenal adanya sajak
merata (terus), sajak berselang, sajak berangkai, dan sajak berpeluk.
Kadang-kadang bermacam ulangan bunyi (persajakan) tersebut dapat
ditemukan dalam sebuah puisi.
Sajak sempurna adalah ulangan bunyi yang timbul sebagai akibat ulangan kata
tertentu, seperti tampak pada contoh berikut.
Katanya kau keturunan pisau
Katanya kau keturunan pisau yang terengah
Katanya kau keturunan pisau yang terengah dan mengucurkan darah
Katanya kau keturunan pisau yang terengah dan mengucurkan
Bahasa Indonesia 2
Paket 3 Unsur-unsur Karya Sastra 3 - 6
darah sehabis menikam ombak laut
Dia terkubur
Di rahimnya
(Sapardi Djoko Damono, “Katanya Kau” Mata Pisau, 1982).
Sajak paruh merupakan ulangan bunyi yang terdapat pada sebagian baris
dan kata-kata tertentu, seperti tampak pada contoh berikut.
Sisi timur hancur
Sisi selatan curam
Sisi barat gelap
Sisi utara berbisa
Kau dan aku tiarap dan
Berdebar-debar memeluk bantal
Sisi atas bocor
Sisi bawah susah
Sisi kiri dikebiri
Sisi kanan ditikam
Kau dan aku tengkurap di langit
(F. Rahardi, “Berita Libanon”, Sumpah WTS, 1985)
Pada kutipan tersebut ulangan bunyi yang ditimbulkan oleh ulangan kata,
hanya terdapat pada awal-awal baris, sehingga disebut sebagai sajak paruh.
Asonansi adalah ulangan bunyi vokal yang terdapat pada baris-baris puisi,
yang menimbulkan irama tertentu, sementara aliterasi dalam ulangan
konsonan. Asonansi, misalnya terdapat dalam kutipan berikut.
Ia dengar kepak sayap kelelawar dan guyur sisa hujan dari daun karena
angin pada kemuning. Ia dengar resah kuda serta langkah pedati ketika
langit bersih kembali menampakkan bimasakti yang jauh...
(Goenawan Mohamad, “Asmaradana,” Pariksit,1971)
Pada kutipan tersebut terdapat asonansi berupa ulangan bunyi i- a, e-a,
u-a, a-i, berulang-ulang sepanjang baris-baris puisi tersebut yang
menimbulkan irama sehingga puisi enak dibaca. Dalam kutipan tersebut juga
terdapat aliterasi, terutama pada ulangan konsonan d, k, p, l, n, ng, r, s
yang ketika dikombinasikan dengan bunyi asonansi cenderung menimbulkan
irama dan suasana muram.
Sajak awal (rima awal) adalah ulangan bunyi atau persajakan yang
terdapat pada tiap awal baris, sementara sajak tengah terdapat pada tengah
baris, dan sajak akhir terdapat pada akhir baris.
Bahasa Indonesia 2
Paket 3 Unsur-unsur Karya Sastra 3 - 7
Contoh sajak awal tersebut tampak pada kutipan berikut;
Tiang tanpa akhir tanpa apa di atasnya
Tiang tanpa topang apa di atasku
Tiang tanpa akhir tanda duka lukaku
Tiang tanpa siang tanpa malam tanpa waktu
(Sutardji Calzoum Bachri, “Colonnes Sans Fin”, 0 Amuk Kapak, 1981)
Sajak tengah (rima tengah) tampak pada contoh berikut;
puan jadi celah
celah jadi sungai
sungai jadi muare
muare jadi perahu
perahu jadi buaye
buaye jadi puake
puake jadi pukau
pukau jadi mau
(Sutardji Calzoum Bachri, “Puake” 0 Amuk Kapak, 1981)
Contoh sajak akhir (rima akhir) adalah sebagai berikut.
akan kau kau kan kah hidupmu?
kau nanti kau akan kau mau kau mau
siapa yang tikam burung yang waktu
waktukutukku waktukutukku waktukutukku waktukutukku
(Sutardji Calzoum Bachri, “Denyut” 0 Amuk Kapak, 1981)
Pada kutipan tersebut sajak akhir tampak pada per-samaan bunyi u di
semua akhir baris.
Berdasarkan hubungan antarbaris terdapat sajak merata, yang ditandai
pada ulangan bunyi a-a-a-a di semua akhir baris; sajak berselang, yang
ditandai dengan ulangan bunyi a-b-a-b di semua akhir baris; sajak
berangkai: a-a-b-b; dan berpeluk: a-b-b-a.
Contoh sajak merata tampak pada kutipan puisi berikut ini.
Mari kita bersama-sama
Naik sepeda bersuka ria
Jangan lupa ajak kawan serta
Agar hati yang sedih jadi terlupa
Contoh sajak berselang adalah pada kutipan pantun berikut ini.
Bahasa Indonesia 2
Paket 3 Unsur-unsur Karya Sastra 3 - 8
Berakit-rakit ke hulu
Berenang-renang ke ketepian
Bersakit-sakit dahulu
Bersenang- senang kemudian
Contoh sajak berangkai (a-a-b-b) tampak pada contoh berikut ini.
perahu jadi buaye
buaye jadi puake
puake jadi pukau
pukau jadi mau
Contoh sajak berpeluk (a-b-b-a) tampak pada contoh berikut ini.
Gelombang menari ditingkah angin
Camar-camar berebut ikan
Biro laut biri ikan-ikan
Aku pun ingin menjelma angin
Yang perlu diingat ulangan bunyi dalam puisi, bukan semata-mata sebagai
hiasan untuk menimbulkan nilai keindahan, tetapi juga memiliki fungsi untuk
mendukung makna dan menimbulkan suasana tertentu. Oleh karena itu,
sesuai dengan suasana yang ditimbulkan oleh ulangan bunyi dikenal bunyi
efony (bunyi yang menimbulkan suasana menyenangkan) dan cacophony
(bunyi yang menimbulkan suasana muram dan tidak menyenangkan).
Efony, misalnya, tampak pada puisi berikut.
Tuhanku
Berdekatankah kita
Sedang rasa teramat jauh
Tapi berjauhankah kita
Sedang rasa begini dekat
Seperti langit dan warna biru
Seperti sepi menyeru
(Emha Ainun Nadjib, “5”, 99 untuk Tuhan,1983)
Efony juga tampak pada ulangan bunyi u, a, i, e yang dipadu dengan b, d, k, t
yang dominan dalam puisi tersebut yang menimbulkan suasana mistis dalam
dialog antara manusia dengan Tuhan yang menyenangkan.
Contoh cacophony, misalnya tampak pada kutipan berikut.
Katanya kau keturunan pisau
Katanya kau keturunan pisau yang terengah
Katanya kau keturunan pisau yang terengah dan mengucurkan darah
(Sapardi Djoko Damono, “Katanya Kau” Mata Pisau, 1982)
Bahasa Indonesia 2
Paket 3 Unsur-unsur Karya Sastra 3 - 9
Puisi tersebut didominasi oleh ulangan bunyi k,p,t,s, u, au yang menimbulkan
suasana muram dan tidak menyenangkan.
Diksi
Diksi adalah pilihan kata atau frase dalam karya sastra (Abrams, 1981). Setiap
penyair akan memilih kata-kata yang tepat, sesuai dengan maksud yang ingin
diungkapkan dan efek puitis yang ingin dicapai. Diksi sering kali juga menjadi
ciri khas seorang penyair atau ciri khas angkatan atau budaya tertentu.
Bahasa Kias
Bahasa kias atau figurative language merupakan penyimpangan dari
pemakaian bahasa yang biasa, yang makna katanya atau rangkaian katanya
digunakan dengan tujuan untuk mencapai efek tertentu (Abrams,1981).
Bahasa kiasan memiliki beberapa jenis, yaitu personifikasi, metafora,
perumpamaan (simile), metonimia, sineksoks , dan alegori (Pradopo, 1978).
a) Personifikasi
Personifikasi adalah kiasan yang menyamakan benda dengan manusia,
benda–benda mati dapat berbuat, dan sebagainya seperti manusia.
Contoh personifikasi antara lain adalah :
Mata pisau itu tak berkejap menatapmu
Kaun yang baru saja mengasahnya
Berfikir ia tajam untuk mengiris apel
Yang tersedia diatas meja
Sehabis makan malam
Ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu
(Sapardi Djoko Damono, “Mata Pisau”, 1982).
Dalam kutipan tersebut pisau dipersonifikasikan mampu menatap dan
membayangkan objek srperti halnya manusia. Personifikasi mempunyai efek
untuk memperjelas imaji (gambaran angan) pembaca karena dengan
menyamakan hal–hal nonmanusia dengan manusia, empati pembaca mudah
ditimbulkan karena pembaca merasa akrab dengan hal-hal yang digambarkan
atau disampaikan dalam puisi tersebut.
Metafora
Metafora adalah kiasan yang menyatakan sesuatu sebagai hal yang sebandig
Bahasa Indonesia 2
Paket 3 Unsur-unsur Karya Sastra 3 - 10
dengan hal lain, yang sesungguhnya tidak sama (Altenbernd dan Lewis, 1969).
Dalam sebuah metafora terdapat dua unsur, yaitu pembanding (vehiche) dan
yang dibandingkan (tenor). Dalam hubungannya dengan kedua unsur tersebut,
maka terdapat dua jenis metafora, yaitu metafora eksplisit dan metafora
implisit.
Disebut metafora eksplisit apabila unsur pembanding dan yang dibandigkan
disebutkan. Misalnya cinta adalah bahasa yang lekas jadi pudar. Cinta sebagai
hal yang dibandingkan dan bahasa yang lekas jadi pudar sebagai pembandingnya.
Disebut metafora implisit, apabila hanya memiliki unsur pembanding saja
misalnya sambal tomat pada mata, untuk mengatakan mata yang merah, sebagai
hal yang dibandingkan. Metafora tampak pada contoh puisi berikut.
Perjalanan Ini
Menyusuri langsai langsai kehidupan
Menyusuri lukademi luka
Menyusuri gigiran abad padang padang lengang
Menyusuri matahari
Dan laut abadi dahsyat sunyi
(Korrie Layun Rampan, Perjalanan, Suara Kesunyian,1981)
Dalam puisi tersebut, perjalanan hidup manusia disamakan dengan menyusuri
langsai kehidupan, luka, padang lenggang, matahari, juga lautan yag sunyi.
Metonimia
Metonimia (pengganti nama) diartikan sebagai pengertian yang satu
dipergunakan sebagai pengertian yang lain yang berdekatan (Luxemburg dkk.
1984). Contoh metonimia, akhirnya kau dengar juga pesan si tua itu, Nuh
(Perahu Kertas, Sapardi Djoko Daamono). Si tua merupakan metonimia dari
Nuh.Contoh lain : tetapi si raksasa itu ayahmu sendiri… (“Benih”, Subagio
Sastrowardoyo). Si Raksasa merupakan metonimia dari Rahwana.
Metonimia berfungsi untuk memperjelas imaji. Melalui metonimia
memperjelas keadaan hal hal yang ingin disampaikan, seperti tampak pada
puisi benih gambaran tentang Rahwana semakin jelas karena dinyatakan
sebagai si raksasa.
Sineksoks
Sinekdoks merupakan bentuk kiasan yang mirip dengan metonemia, yaitu
pengertian yang satu dipergunakan untuk yang lain. Sinekdoks dibedakan
Bahasa Indonesia 2
Paket 3 Unsur-unsur Karya Sastra 3 - 11
menjadi dua jenis,yaitu totum pro parte dan part pro toto. Disebut totum pro
parte apabila keseluruhan dipergunakan untuk menyebut atau mewakili
sebagian. Sinekdoks nampak digunakan oleh Emha Ainun Najib pada puisi
“2”: Kami tak gentar pada apa pun di bawah tangan-Mu. Dalam baris
tersebut tangan Mu merupakan part pro toto yang digunakan untuk menyebut
keesaan yang dipegang Tuhan. Penggunaan sinekdoks ini membuat
gambaran lebih kongkret. Sineksoks totum pro parte misalnya tampak pada:
seluruh hari, seluruh waktu hanya mengucap nama-Mu, merupakan
sinekdoks yang mewakili bahwa sebagian besar (belum tentu seluruh) hari
dan waktu digunakan untuk menyebut nama Allah.
Simile
Simile (perumpamaan) merupakan kiasan yang menyamakan satu hal dengan
hal lain yang menggunakan kata pembanding seperti bagai, seperti, laksana,
semisal, seumpama, sepantun, atau kata –kata pembanding lainnya.
Alegori
Alegori adalah cerita kiasan atau lukisan yang mengiaskan hal lain atau
kejadian lain (Pradopo, 1987). Alegori pada dasarnya merupakan bentuk
metafora yang diperpanjang. Perhatikan contoh alegori berikut.
Akulah si telaga: berlayarlah di atasnya;
Berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil yang menggerakkan bungabunga
padma
berlayarlah sambil memandang harumnya cahaya;
sesampai di seberang sanaa tinggalkan begitu saja perahumu biar aku
yang menjaganya
(Sapardi Djoko Damono, “Akulah Si Telaga” Perahu Kertas, 1983)
Puisi tersebut merupakan alegoris yang mengiaskan perjalanan hidup
manusia seperti halnya berlayar di atas telaga, dan tubuh manusia dikiaskan
sebagai perahu, yang akan ditinggalkan di dunia setelah manusia mati.
Citraan
Citraan (imagery) merupakan gambaran-gambaran angan dalam puisi yang
ditimbulkan oleh efek kata-kata (Pradopo, 1987). Ada bermacam-macam jenis
citraan, sesuai dengan indra yang digunakannya, yaitu (1) citraan penglihatan
(visual imagery), (2) citraan pendengaran (auditory imagery), (3) citraan
rabaan (thermal imagery), (4) citraan pencecapan (tactile imagery), (5) citraan
penciuman (olfactory imagery), (6) citraan gerak (kinesthetic imagery).
Bahasa Indonesia 2
Paket 3 Unsur-unsur Karya Sastra 3 - 12
Contoh citraan penglihatan adalah:
Kubiarkan cahaya bintang memilikimu
Kubiarkan angin, yang pucat dan tak habis-habisnya
Gelisah, tiba-tiba menjelma isyarat, merebutmu
(Sapardi Djoko Damono, “Nokturno,” Mata Pisau, 1982)
Pada puisi di atas tampak citraan penglihatan karena dalam bayangan angan
pembaca seolah-olah melihat cahaya bintang, juga angin yang pucat.
Citraan pendengaran dapat dirasakan pada kutipan berikut.
Sejuk pun singgah
Memeluk nisan demi nisan
Gerimis sore memetik kecapi
Diamku membuat air laut tersibak
“Penyair, lewatlah bertongkat sehelai benang!
Mencari sarang angin”...
(D. Zawawi Imron, “Padang Hijau,” Bulan Tertusuk Ilalang,1982)
Pada puisi tersebut, dalam bayangan angan pembaca, seperti mendengar
bunyi gerimis sebagaimana bunyi kecapi dan suara laut mengatakan ’’ Penyair,
lewatlah bertongkat sehelai benang! Mencari sarang angin.”
Contoh citraan rabaan adalah pada: Sejuk pun singgah, yang seolah-olah
pembaca dapat merasakan kesejukan, seperti yang dirasakan nisan-nisan
dalam puisi tersebut. Citraan pencecapan dapat dirasakan pada: ingin kuhalau
hidup yang terasa pahit tembakau, berganti manisnya madu.... Citraan
penciuman dapat dirasakan pada: kini kuhirup bau senja, bau kandil-kandil dan
pesta/ bau pembebasan,... bau yang sunyi... (“Pariksit” Goenawan Mohamad).
Citraan gerak dapat dirasakan pada: Akulah si telaga: berlayarlah di atasnya/
berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil yang menggerakkan bunga-bunga
padma.
Sarana Retorika
Sarana retorika atau rhetorical devices merupakan muslihat intelektual, yang
dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu hiperbola, ironi, ambiguitas,
paradoks, litotes, dan elipisis (Altenbernd & Lewis, 1969).
Hiperbola. Hiperbola adalah gaya bahasa yang menyatakan sesuatu secara
berlebih-lebihan. Contoh: dengan seribu gunung langit tak runtuh dengan
seribu perawan hati tak jatuh... Kata seribu dalam pernyataan tersebut
merupakan bentuk hiperbola.
Bahasa Indonesia 2
Paket 3 Unsur-unsur Karya Sastra 3 - 13
Ironi. Ironi merupakan pernyataan yang mengandung makna yang
bertentangan dengan apa yang dinyatakannya. Contoh ironi adalah:
sebenarnya aku benci rumah/ yang memberiku kerinduan untuk pulang/...
(Emha Ainun Nadjib, “Sajak Petualang”). Di sini ada hal yang bertolak
belakang, antara benci dan rindu terhadap rumah.
Ambiguitas. Ambiguitas adalah pernyataan yang mengandung makna ganda
(ambigu). Contoh ambiguitas antara lain: Tuan, Tuhan bukan? Tunggu
sebentar/ says sedang keluar (Sapardi Djoko Damono, “Tuan”). Dalam
pernyataan tersebut terdapat ambiguitas karena dalam logika biasa, tidak akan
terjadi si aku yang sedang ke luar, dapat menyapa Tuhan. Ambiguitas tersebut
antara lain akan menyatakan seseorang yang tidak (belum) siap untuk
menemui Tuhan, karena mungkin masih perlu membersihkan dirinya.
Paradoks. Paradoks merupakan pernyataan yang memiliki makna yang
bertentangan dengan apa yang dinyatakan. Contohnya antara lain: tidak setiap
derita/ jadi luka/ tidak setiap sepi/ jadi duri... (“fadi,” Sutardjo Calzoum
Bachri). Pada pernyataan tersebut terdapat paradoks, karena menyangkal
kenyataan yang umum terjadi (setiap derita pada umumnya melukai, setiap
sepi pada umumnya menyakitkan).
Litotes. Litotes adalah penyataan yang menganggap sesuatu lebih kecil dari
realitas yang ada. Litotes merupakan kebalikan dari hiperbola. Contohnya
antara lain:
inilah lagu yang seder-hana/
untuk-Mu/
Denting-denting rawan/
jiwa yang me-layang-layang... )
(Lagu yang Sederhana” Acep Zamzam Noor).
Pernyataan tersebut mengandung litotes karena merendahkkan
(mengganggap kecil) lagu (pujian) yang disampaikan kepada Tuhan.
Elipsis. Elipsis merupakan pernyataan yang tidak diselesaikan, tetapi ditandai
dengan .... (titik-titik). Contohnya: biarkan waktu berlalu, karena aku
hanyalah... Pernyataan tersebut tidak dilanjutkan. Elipsis banyak dipakai
pada beberapa puisi lama. Wahai angin... sampaikan salamku padanya.
Bentuk Visual. Bentuk visual merupakan salah satu unsur puisi yang paling
mudah dikenal. Bentuk visual meliputi penggunaan tipografi dan susunan
baris. Bentuk visual pada umumnya mensugesti (berhubungan) dengan
Bahasa Indonesia 2
Paket 3 Unsur-unsur Karya Sastra 3 - 14
makna puisi. Pada saat ini bentuk visual puisi bermacam-macam. Berikut
merupakan beberapa contoh bentuk visual puisi.
Bentuk Visual seperti Prosa
SAUDARA KEMBARKU
Kalau ada daham-daham terdengar di malam hari, aku tabu itu saudara
kembarku. la menanti aku di pekarangan, karena aku melarang ia
masuk.
Pernah ia begitu rindu kepadaku dan tiba-tiba Nadir di tengah
keluargaku dengan tamu-tamu yang sedang berpesta merayakan hari
lahirku. Mereka semua ketakutan melihat ia duduk di dalam, karena
muka saudara kembarku sangat buruk. Aku malu dan miris ia
menunggu di luar kalau mau bertemu dengan aku.
Subagio Sastowardoyo
Bentuk Visual Konvensional
HATIKU ANGIN
hatiku angin
mengembara
mengalir
terhirupnafasmu
hatiku angin
menyebar
kosong tak terlihat
mencemari nadi
meracun darah
hingga kaku
bagai patung diriku
Evi Idawati
Bentuk Visual Zigzag
Seperti padaTragedi Winka & Sihka (Sutardji Calzoum Bachri, 1981). Dalam
perkembangannya, tentu akan ditemukan sejumlah bentuk visual lain.
Makna Puisi
Makna merupakan wilayah isi sebuah puisi. Setiap puisi pasti mengandung
makna, baik yang disampaikan secara langsung maupun secara tidak
langsung, implisit atau simbolis. Makna tersebut pada umumnya berkaitan
dengan pengalaman dan permasalahan yang dialami dalam kehidupan
manusia. Ada yang berhubungan dengan persoalan cinta asmara, cinta
Bahasa Indonesia 2
Paket 3 Unsur-unsur Karya Sastra 3 - 15
sufistis, kemiskinan, pemujaan terhadap tanah air maupun tokoh-tokoh
tertentu.
Makna sebuah puisi, pada umumnya baru dapat dipahami setelah seorang
pembaca membaca, memahami arti tiap kata dan kiasan yang dipakai dalam
puisi, juga memperhatikan unsur-unsur puisi lain yang mendukung makna.
B. Unsur Drama
Untuk memahami sebuah drama, maka seorang pembaca dan calon pengkaji
drama, perlu juga mengenal dan memperhatikan unsur-unsur pembangun
drama. Unsur-unsur tersebut adalah tema dan amanat, alur (plot), penokohan
(perwatakan, karakterisasi), latar (setting), cakapan (dialog), dan lakuan
(action) (Effendi, 1967:157-170).
Tema
Tema merupakan rumusan intisari cerita sebagai landasan idiil dalam
menentukan arah tujuan cerita (Harymawan, 1988:24). Sementara itu, amanat
pada dasarnya merupakan pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada
pembaca atau penonton.
Alur
Alur pada dasarnya merupakan deretan peristiwa dalam hubungan logik dan
kronologik saling berkaitan dan yang diakibatkan atau dialami oleh para pelaku
(Luxemburg, 1984:1490). Dalam teks drama, alur tidak diceritakan, tetapi akan
divisualkan dalam panggung. Dengan demikian, bagian terpenting dari sebuah
alur drama adalah dialog dan lakuan.
Penyajian alur dalam drama diujudkan dalam urutan babak dan adegan. Babak
adalah bagian terbesar dalam sebuah lakon. Pergantian babak dalam pentas
drama ditandai dengan layar yang diturunkan atau ditutup, atau lampu
panggung dimatikan sejenak. Setelah lampu dinyalakan kembali atau layar
dibuka kembali dimulailah babak baru berikutnya. Pergantian babak biasanya
menandai pergantian latar, baik latar tempat, ruang, maupun waktu. Adegan
adalah bagian dari babak. Sebuah adegan hanya menggambarkan satu
suasana. Pergantian adegan, tidak selalu disertai dengan pergantian latar.
Satu babak dapat terdiri atas beberapa adegan (Harymawan, 1988).
Struktur alur drama, yang oleh Aristoteles (dalam Harymawan, 1988) disebut
sebagai alur dramatik (dramatic plot) dibagi menjadi empat bagian, yaitu: (1)
protasis (permulaan), dijelaskan peran dan motif lakon, (2) epitasio (jalinan
kejadian), dan (3) catastasis (klimaks), peristiwa mencapai titik kulminasi.
Bahasa Indonesia 2
Paket 3 Unsur-unsur Karya Sastra 3 - 16
Hudson (dalam Brahim, 1968) menggambarkan alur dramatik tersebut
sebagai berikut: a = eksposisi, b = insiden permulaan, c = pertumbuhan laku,
d = krisis atau titik balik, e = penyelesaian, dan d = catastrope.
Tokoh
Tokoh dalam drama mengacu pada watak (sifat-sifat pribadi seorang pelaku,
sementara aktor atau pelaku mengacu pada peran yang bertindak atau
berbicara dalam hubungannya dengan alur peristiwa.
Cara mengemukakan watak di dalam drama lebih banyak bersifat tidak
langsung, tetapi melalui dialog dan lakuan. Hal ini berbeda dengan yang terjadi
dalam novel, watak tokoh cenderung disampaikan secara langsung. Dalam
drama, watak pelaku dapat diketahui dari perbuatan dan tindakan yang mereka
lakukan, dari reaksi mereka terhadap sesuatu situasi tertentu terutama situasisituasi
yang kritis, dari sikap mereka menghadapi suatu situasi atau peristiwa
atau watak tokoh lain (Brahim,1968:92).
Di samping itu, watak juga terlihat dari kata-kata yang diucapkan. Dalam hal ini
ada dua cara untuk mengungkapkan menunjukkan situasi sebuah RSJ. Untuk
memahami Tatar, maka seorang pembaca naskah drama, juga para aktor
dan pekerja teater yang akan mementaskannya harus memperhatikan
keterangan tempat, waktu, dan suasana yang terdapat pada teks samping
atau teks nondialog.
Dialog (Cakapan)
Dalam drama ada dua macam cakapan, yaitu dialog dan monolog. Disebut
dialog ketika ada dua orang atau lebih tokoh bercakap-cakap. Disebut
monolog ketika seorang tokoh bercakap-cakap dengan dirinya sendiri.
Selanjutnya, monolog dapat dibedakan lagi menjadi tiga macam, yaitu
monolog yang membicarakan hal-hal yang sudah lampau, soliloqui yang
membicarakan hal-hal yang akan datang, dan aside (sampingan) untuk
menyebut percakapan seorang diri yang ditujukan kepada penonton
(audience) (Supartinah & Indratmo,1991). Dialog dan monolog merupakan
bagian penting dalam drama, karena hampir sebagian besar teks drama
didominasi oleh dialog dan monolog. Itulah yang membedakan teks drama
dengan novel dan puisi.
Lakuan
Lakuan merupakan kerangka sebuah drama. Lakuan harus berhubungan
dengan plot dan watak tokoh. Lakuan yang seperti itu disebut sebagai lakuan
yang dramatik (Brahim, 1968:66).
Bahasa Indonesia 2
Paket 3 Unsur-unsur Karya Sastra 3 - 17
Dalam sebuah drama, laku tidak selamanya badaniah, dengan gerak-gerik
tubuh, tetapi dapat juga bersifat batiniah, atau laku batin, yaitu pergerakan yang
terjadi dalam batin pelaku. Dalam hal ini gerakan ituhanya dihasilkan oleh
dialog. Dialog akan mengggambarkan perubahan atau kekusutan emosi yang
terungkap dalam sebagian dari percakapan pelakunya. Di sini situasi batin
dapat pula terlihat dari gerak-gerik fisik seseorang, yang disebut sebagai
dramatik action yang terbaik (Grebanier, dalam Brahim, 1968:66).
C. Unsur Cerita
Unsur cerita meliputi plot, tokoh, dan latar; sedangkan sarana cerita meliputi
judul, sudut pandang, gaya dan nada; serta tema. Sementara itu, Luxemburg
dkk (1984) membicarakan persoalan teks dan juru cerita, cerita, visi terhadap
dunia rekaan, alur, dan para pelaku dalam uraian mengenai teks-teks naratif.
Sejumlah teori tersebut selanjutnya menjadi dasar bagi pembahasan dan
analisis teks naratif atau fiksi. Berikut ini diuraikan unsur-unsur pembangun
fiksi seperti yang disebutkan oleh Stanton, terdiri atas tokoh, alur, latar, judul,
sudut pandang, gaya dan nada, dan tema. Berikut ini diuraikan masing-masing
unsur tersebut.
Tokoh
Tokoh adalah para pelaku yang terdapat dalam sebuah fiksi. Tokoh dalam
fiksi merupakan ciptaan pengarang, mes-kipun dapat juga merupakan
gambaran dari orang-orang yang hidup di alam nyata. Oleh karena itu, dalam
sebuah fiksi tokoh hendaknya dihadirkan secara alamiah. Dalam arti tokohtokoh
itu memiliki “kehidupan” atau berciri “hidup”, atau memiliki derajat
lifelikeness (keseperti-hidupan) (Sayuti, 2000:68). Sama halnya dengan
manusia yang ada dalam alam nyata, yang bersifat tiga dimensi, maka tokoh
dalam fiksi pun hendaknya memiliki dimensi fisiologis, sosiologis, dam
psikologis. Dimensi fisiologis meliputi usia, jenis kelamin, keadaan tubuh, dan
ciri-ciri tokoh.
Karakter seseorang juga dapat dipahami melalui apa yang dipikirkannya.
... Jika Namnya tidak memiliki keinginan dengan usaha dan kerja keras
untuk mengLibahnya, Namnya akan tetap seperti ini. Jalan di tempat.
seperti suku terasing yang terpisah dari peradaban. Tidak pemah maju,
selangkah pun. Itulah Namnya.”
(Namanya berpikir, berarti aku tetap memakai caveat sementara orang
lain telah naik pesawat). la pun berontak dan menangkis penilaian Ustaz
Omar. Namnya berpikir, bukankah setiap berangkat dan pulang dari
pesantren menuju kampung halaman di Lombok sana, ia selalu naik
pesawat? Bahkan ayahnya, sang konglomerat Arab itu, Mohamed Noufal
Bahasa Indonesia 2
Paket 3 Unsur-unsur Karya Sastra 3 - 18
al Katiri juga memiliki pesawat pribadi?...
(Abidah El Khaliegy, Geni Jora, 2004:37).
Dari kutipan tersebut tampak bahwa melalui pikirannya, tokoh Namnya
memiliki karakter sebagai orang yang lebih mengandalkan kekayaan (materi)
orang tua, dari pada kemampuan intelektual dan moralnya.
Stream of conscioussness atau arus kesadaran merupakan cara penceritaan
untuk menangkap dan melukiskan warna-warni perkembangan karakter, yakni
ketika persepsi bercampur dengan kesadaran atau setengah kesadaran,
dengan kenangan dan perasaan. Teknik ini mencakup ragam cakapan batin
yang berupa monolog dan solilokui. Monolog adalah cakapan batin yang
menjelaskan kejadian-kejadian yang sudah lampau, peristiwa-peristiwa, dan
perasaan-perasaan yang sudah terjadi, sementara solilokui adalah cakapan
batin yang mengisyaratkan hal-hal, tindakan-tindakan, kejadian-kejadian,
perasaan, dan pemikiran yang masih akan terjadi (Sayuti, 2000).
Berikut ini merupakan contoh penggunaan teknik Stream of conscioussness
atau arus kesadaran, yang menggambarkan karakter tokoh.
Hampir sama seperti manusia nyata, tokoh dalam fiksi pun memiliki watak.
Ada dua cara menggambarkan watak tokoh, yaitu secara langsung (telling,
analitik) dan tak langsung (showing, dramatik). Selanjutnya, secara tak
langsung watak tokoh digambarkan melalui beberapa cara yaitu: (1)
penamaan tokoh (naming), (2) cakapan, (3) penggambaran pikiran tokoh, (4)
arus kesadaran (steam of consciousness), (5) pelukisan perasaan tokoh, (6)
perbuatan tokoh, (7) sikap tokoh, (8) pandangan seorang atau banyak tokoh
terhadap tokoh tertentu, (9) pelukisan fisik, dan (10) pelukisan latar (Sayuti,
2000).
Dalam teknik naming atau pemberian nama tokoh, nama tokoh tertentu
mengisyaratkan karakter sang tokoh. Tokoh Lantip dalam Para Priyayi,
misalnya mengisyaratkan karakternya yang cerdas dan cekatan. Tokoh
Sumarah dalam Sri Sumarah, sesuai dengan karakternya sebagai wanita
Jawa yang memiliki kepasrahan dalam menjalani nasibnya.
Apa yang diucapkan tokoh, baik dalam bentuk dialog maupun monolog,
seringkali menunjukkan karakternya sehingga cakapan antartokoh dapat
menunjukkan bagaimana karakter tokoh tersebut.
“Tak bisa disangkal,” kataku, “kecantikan adalah anugrah. Namun,
kecerdasan dan kesalehan, ia lebih dari sekedar anugrah.” “Kau ingin
mengatakan bahwa kecerdasan dan kesalehan adalah di atas
Bahasa Indonesia 2
Paket 3 Unsur-unsur Karya Sastra 3 - 19
kecantikan?” tanya Nadia.
“Persis,” kataku, “kesalehan bisa membentuk kecantikan. Tapi
sebaliknya, kecantikan tidak mampu menghadirkan kesalehan. Alih-alih,
ia malah menjauhkan kesalehan. Demikian halnya kecerdasan.”
“Kau setuju, Zakky?” tanya Nadia. Zakky terkesiap. Sebenarnya ia sedang
asyik menikmati suara Nadia yang berdecak-decak...
(Abidah El Khaliegy, Geni Jora, 2004:17).
Dari kutipan tersebut tampak karakter tokoh (:Jora) yang menjunjung tinggi
kecerdasan dan kesalehan.
Lalu dia bercerita mengenai kehancuran perkawinannya dengan nada
mengangis. Saya diam, tidak sampai hati memberi alasan. Tapi terusterang
saya ingin merampok istrinya. Saya ingin berkata kepada
Wayne, “Hai, pengarang Wayne Danton, dengarlah apa yang ingin
saya katakan. Saya ingin pada suatu ketika melihat istri sampean
memakai dandanan India. Kemudian saya ingin pada suatu hari
melihat istri sampean memakai dandanan Parsi seperti dalam cerita
seribu satu malam...
Memang setiap kali berbaring di padang rumput, Olenka mengenakan
pakaian renang. Tapi setiap ada orang lewat, termasuk saya, dia
menuntup tubuhnya dengan selimut. Tindakannya menunjukkan
seolah dia menganggap orang lain seperti lalat yang ingin bertengger di
tubuhnya. Karena itu saya sering memberi kuasa kepada otak saya
untuk membayangkan Olenka sedang mengenakan pakaian renang.
(Budi Darma, Olenka, 1990)
Dari kutipan tersebut tampak penggunaan teknik aras kesadaran, dalam
bentuk monolog dan imajinasi yang membaur antara kesadaran atau
setengah kesadaran menunjukkan karakter tokoh Fanton yang memiliki ingin
selalu superior dan menganggap orang lain sebagai objek yang dapat
ditundukkan dan diatur sesuai dengan keinginannya.
Karakter tokoh juga dapat diketahui dari perasaannya. Pada kutipan berikut
dapat diketahui karakter tokoh Bromocorah yang pemaaf terhadap musuhnya
dan memberi kesempatan padanya untuk menikmati masa depannya.
Lawannya mencoba mengangkat badannya, tetapi jatuh kembali.
Kemudian dia membuka matanya dan memandang pada lawannya yang
telah mengalahkannya.
“Mengapa Mas tidak sudahi?” pintanya.
“Kau masih muda Dik, pergilah.” Dia membalikkan badannya,
Bahasa Indonesia 2
Paket 3 Unsur-unsur Karya Sastra 3 - 20
dan melangkah ke dalam hutan jati, menuruni bukit, dan melintasi
sawah, jauh dari orang-orang kampung yang sudah mulai bekerja.
(Mochtar Lubis, “Bromocorah”, 1993)
Karakter tokoh juga dapat diketahui dari perbuatannya.
Suli rupanya tidak tahan lagi menahan tangisnya yang sudah ditahannya
sejak percakapan itu dimulai. Dia bangkit dari duduknya, lalu masuk ke
ruang duduk depan, Halimah mengikuti dengan maksud untuk
menghibumya.
“Kenapa bapak-bapak sudah betul memahami perasaan ibu-ibu terhadap
anaknya, ya Nii ... ? Ini anak yang kita kandung, kita lahirkan dengan
penuh kesakitan, kita besarkan dengaaan penuh kasih sayang. Sekarang
mau kawin cuma mau memberi tahu saja, tidak butuh restu kita.......
Halimah duduk di dekat Suh, menepuk-nepuk bahu adik ipamya,
mencoba menenteramkan.
(Umar Kayam, Jalan Menikung, 1999:40)
Dari kutipan tersebut tampak karakter Halimah yang memiliki kasih sayang
dan solidaritas terhadap kesedihan yang dialami Suli. Di samping itu, juga
tampak karakter orang tua, terutama ibu, yang memiliki pola pikir, perasaan,
dan pandangan yang berbeda dengan suami dan anak-anaknya.
Sikap tokoh terhadap orang lain maupun suatu masalah juga dapat
menunjukkan karakter tokoh.
Eko memandangi wajah anggota keluarga Levin satu demi satu dengan
perasaan terharu. Daire kemudian juga mendekat, mengusak-asik rambut
Eko yang agak keriting itu. Waktu malam semakin larut, cangkir-cangkir
kopi dan piring kue juga sudah kosong, mereka saling mengucapkan
“good night” dan masuk kamar tidur masing-masing. Hanya Eko yang
masih belum mau tidur. Dimasukinya kamar belajarnya, di mana juga
disimpannya alat musik siter yang dibelinya di toko barang-barang bekas,
di tengah pertokoan kumuh di bagian bawah kota Sunnybrook. Eko
terkejut melihat sebuah siter Jawa tergeletak di pojok toko, kotor dan
penuh debu.
(Umar Kayam, Jalan Menikung, 1999:25)
Dari sikap Eko tampak betapa dia amat mencintai Beni (musik) tradisional
Jawa. Di samping itu, kutipan tersebut juga menunjukkan sikap keluarga Levin
yang saling mencintai dan menghargai. Karakter tokoh juga tampak dari
lukisan fisik dan Tatar.
Hujan deras membasahi angin dan angin menerbangkan hujan bagai anak
panah salju dan hujan dan angin itu dibelah-belah petir dan ekor-ekor petir
Bahasa Indonesia 2
Paket 3 Unsur-unsur Karya Sastra 3 - 21
jadi melempem oleh suasana dingin yang beku bagai kerupuk dalam
lemari es. Dan di seberang lembah itu, Taut menerima airnya kembali. Bijibiji
melayang-layang dan jatuh dalam tanah yang lantas dipeluknya eraterat,
dan serunya, “Allah, aku telah menerima bagianku. Dia punyaku!
Punyaku! Sesungguhnya dia punyaku!” Semuanya menerima miliknya
kembali.
Semuanya menerima bagiannya sendiri-sendiri.
Tetapi di seberang sana, seorang perempuan tua yang buta, yang
rambutnya terurai panjang, yang badannya kurus tinggal kulit pembalut
tulang, yang pakaiannya compang-camping, sedang melakukan suatu
pekerjaan dengan tenangnya. Angin kencang menarik-narik pakaiannya
hingga berkibar-kibar. Rambutnya menjuntai-juntai dan air hujan yang
ditampungnya mancur deras lewat ujung-ujungnya yang kusut itu bagai air
terjun yang tak kunjung padam.
(Danarto, Godlob)
Alur (Plot)
Alur atau plot adalah rangkaian peristiwa yang disusun berdasarkan hubungan
kausalitas. Secara garis besar alur dibagi dalam tiga bagian, yaitu awal,
tengah, dan akhir (Sayuti, 2000). Secara sederhana, alur dapat digambarkan
sebagai berikut.
Bagian awal berisi eksposisi yang mengandung instabilitas yang dan konfiks.
Bagian tengah mengandung klimaks yang merupakan puncak konflik.
Bagian akhir mengandung denoument (penyelesaian atau pemecahan
masalah).
Plot memiliki sejumlah kaidah, yaitu plausibilitas (kema-sukakalan), surprise
(kejutan), suspense, unity (keutuhan) (Sayuti, 2000). Rangkaian peristiwa
disusun secara masuk akal, meskipun masuk akal di sini tetap dalam
kerangka fiksi. Suatu cerita dikatakan masuk akal apabila cerita itu
memiliki kebenaran, yakni benar bagi diri cerita itu sendiri.
Bahasa Indonesia 2
Paket 3 Unsur-unsur Karya Sastra 3 - 22
Dalam cerpen “Mereka Bilang, Saya Monyet” karya Djenar Maesa Ayu,
gambaran tokoh manusia laki-laki berekor anjing, babi atau kerbau, berbulu
serigala, landak atau harimau merupakan hal yang masuk akal, karena hal itu
menunjuk pada manusia yang secara fisik manusia, tetapi memiliki karakter
seperti binatang.
Sepanjang hidup saya melihat manusia berkaki empat. Berekor anjing,
babi atau kerbau. Berbulu serigala, landak atau harimau. Dan berkepala
ular, banteng atau keledai.
Namun tetap saja mereka bukan binatang. Cara mereka menyantap hidangan
di depan meja makan sangat benar. Cara mereka berbicara selalu
menggunakan bahasa dan sikap yang sopan...
(Djenar Maesa Ayu, “Mereka Bilang, Saya Monyet”)
Dengan adanya surprise (kejutan), maka rangkaian peristiwa
menjadi menarik. Di samping itu, kejutan juga ber-fungsi untuk
memperlambat atau mempercepat klimaks.
Harimurti mendengarkan kalimat-kalimat yang keluar dari mulut Maryantu
dengan tenang, meskipun di dalam dadanya dia meresakan degup
jantungnya bejalan lebih keras lagi. Kemudian, “Bagaimana pendapatmu,
Har?”
“Bukankah saya sudah dibebaskan dari tahanan bertahun-tahun yang lalu,
bahkan jauh sebelum saya kawin. Dan, yang lebih penting lagi, saya
sudah dijamin oleh almarhum padhe saya, seorang kolonel Angkatan
Darat, Pak.”
“Ya, itu saya tahu semua. Bahkan, karena itu kamu kami terima di
perusahaan kami. Tapi, kawan saya, sang intel, itu tidak mau tahu. Semua file
harus diperiksa dan ditinjau kembali....
“Kalau tidak saya ikuti anjuran teman saya perwira tinggi intel itu, Har,
perusahaan kita akan terpaksa ditutup.”
Harimurti sudah siap dengan kalimat terakhir bosnya itu. “Baik, saya akan
mengundurkan diri, Pak.”
“Terima kasih, Har. Kau tidak hanya menyelamatkan saya, tetapi beratus
periuk nasi pekerj a perusahaan ini. Terima Kasih, har.” (Umar Kayam, Jalan
Menikung, 1999).
Klimaks tampak pada peristiwa yang tak disangka-sangka ketika suatu hari
Harimurti yang pada tahun 1960-an terlibat G30S/PKI dan sudah
dibebaskan dengan jaminan, beberapa tahun berikutnya, pada masa Orde
Baru, diminta mengundurkan diri dari tempatnya bekerja karena dianggap
sebagai orang yang terlibat G30S/PKI. Kejutan tersebut berimplikasi pada
jalinan alur selanjutnya. Anak Harimurti, yang pada saat itu sedang belajar di
Bahasa Indonesia 2
Paket 3 Unsur-unsur Karya Sastra 3 - 23
luar negeri (Amerika) setelah lulus diminta untuk tidak pulang ke tanah air
karena tidak akan mudah mendapatkan pekerjaan bagi anggota keluarga yang
dianggap terlibat G30S/PKI.
Suspense (ketidaktentuan harapan) muncul ketika rangkaian peristiwa
yang berkaitan dengan peristiwa sebelumnya, tiba-tiba dialihkan ke
peristiwa lain yang tidak berkaitan, sehingga kelanjutan peristiwa tersebut
tertunda dan mengalami ketidaktentuan. Contoh suspense dapat ditemukan
pada novel Dadaisme (2004) karya Dewi Sartika, yang menandai pembagian
bab, misalnya pada bab I diceritakan tokoh Nedena, tetapi pada bab 11
cerita berpindah pada tokoh Yossy. Artinya, setelah bab 1, kisah tentang
Nededa ditunda sampai ketemu lagi nanti di bab IV.
Rangkaian peristiwa yang terdapat dalam sebuah cerita dituntut memiliki
keutuhan (unity). Adanya bagian awal, tengah, akhir dalam suatu alur
menunjukkan adanya ke-utuhan tersebut.
Plot dapat dibedakan menjadi beberapa jenis. Sesuai dengan penyusunan
peristiwa atau bagian-bagiannya, dikenal plot kronologis atau plot
progresif, dan plot regresif atau flash back atau sorot balik. Dalam
plot progresif peristiwa disusun: awal-tengah-akhir, sementara pada plot
regresif alur disusun sebaliknya, misalnya: tengah-awal-akhir, atau akhirawal-
tengah.
Dilihat dari akhir cerita dikenal plot terbuka dan plot tertutup. Plot disebut
tertutup ketika sebuah cerita memiliki akhir (penyelesaian) yang jelas.
Misalnya novel Siiti Nurbaya atau Salah Asuhan, dengan akhir cerita yang
jelas, yaitu nasib tokoh utamanya yang berakhir tragis. Sitti Nurbaya gagal
menikah dengan Samsul Bachri, sementara Hanafi bunuh diri karena ditolak
kembali ke dalam keluarga besarnya.
Dilihat dari kuantitasnya, terdapat plot tunggal dan plot jamak. Plot disebut
tunggal ketika rangkaian peristiwa hanya mengandung satu peristiwa primer,
sementara alur dianggap jamak ketika mengandung berbagai beristiwa primer
dan peristiwa lain (minor).
Dilihat dari kualitasnya, dikenal plot rapat dan plot longgar. Disebut plot rapat
apabila plot utama cerita tidak memiliki celah yang memungkinkan yang
memungkinkan untuk disisipi plot lain. Sebaliknya, sebuah plot dianggap
longgar apabila ia memiliki kemungkinan adanya penyisipan plot lain
(Sayuti, 2000). Pada beberapa novel, misalnya Larung, pada halaman 150-
Bahasa Indonesia 2
Paket 3 Unsur-unsur Karya Sastra 3 - 24
160 terdapat sisipan cerita yang merupakan ringkasan dari sebuah novel
Perancis, Histoire d’ 0 karya Paulin Reage. Cerita tersebut muncul dalam
ingatan Yasmin ketika dia mencoba memahami gejala masokisme yang
banyak dinikmati kaum perempuan meskipun berada dalam dominasi
patriarkhi.
Latar (setting)
Dalam fiksi, latar dibedakan menjadi tiga macam, yaitu latar tempat, waktu,
dan sosial. Latar tempat berkaitan dengan masalah geografis. Di lokasi mana
peristiwa terjadi, di desa apa, kota apa, dan sebagainya. Latar waktu berkaitan
dengan masalah waktu, hari, jam, maupun historis. Latar sosial berkaitan
dengan kehidupan masyarakat (Sayuti, 2000).
Latar memiliki fungsi untuk memberi konteks cerita. Oleh karena itu, dapat
dikatakan bahwa sebuah cerita terjadi dan dialami oleh tokoh di suatu tempat
tertentu, pada suatu masa, dan lingkungan masyarakat tertentu. Novel Jalan
Menikung, misalnya berlatar tempat, antara lain Jakarta, Amerika, dan
Padang. Berlatar waktu masa Orde Baru, lebih kurang 1985-an, karena ada
bagian teks yang menjelaskan Eko, anak Harimurti, yang pada masa G30/
PKI tahun 1965-an, pada saat itu telah berumur 20-an. Latar sosial novel
tersebut antara lain adalah keluarga Jawa, juga kondisi sosial ma-syarakat
menengah atas di Jakarta.
Judul
Judul merupakan hal pertama yang paling mudah dikenal oleh pembaca
karena sampai saat ini tidak ada karya yang tanpa judul. Judul sering kali
mengacu pada tokoh, latar, tema, maupun kombinasi dari beberapa unsur
tersebut.
Judul Sitti Nurbaya, Saman, Larung, misalnya mengacu pada tokoh. Jalan
Menikung, Belenggu, dan Ziarah, mengacu pada tema. Senja di Jakarta
mengacu pada latar. Sebuah judul biasanya dipilih oleh pengarang dengan
alasan kemenarikan.
Sudut Pandang (point of view)
Sudut pandang atau point of view memasalahkan siapa yang bercerita.
Sudut pandang dibedakan menjadi sudut pandang orang pertama dan
orang ketika. Masing-masing sudut pandang tersebut kemudian dibedakan
lagi menjadi:
Bahasa Indonesia 2
Paket 3 Unsur-unsur Karya Sastra 3 - 25
(1) sudut pandang first person central atau akuan sertaan;
(2) sudut pandang first person peripheral atau akuan taksertaan;
(3) sudut pandang third person omniscient atau diaan mahatahu;
(4) sudut pandang third person limited atau diaan terbatas (Sayuti, 2000).
Pada sudut pandang first person central atau akuan sertaan, cerita
disampaikan oleh tokoh utama, karena cerita dilihat dari sudut pandangnya,
maka dia memakai kata ganti aku. Sementara itu, penggunaan sudut pandang
akuan taksertaan terjadi ketika pencerita adalah tokoh pembantu yang hanya
muncul di awal dan akhir cerita. Penggunaan sudut pandang akuan sertaan,
misalnya tampak pada novel Olenka.
Pertemuan saya dengan seseorang, yang kemudian saya ketahui
bemama Olenka, tadi secara kebetulan ketika pada suatu hari saya naik
lift ke tingkat limabelas....
Penggunaan sudut pandang akuan taksertaan, misalnya tampak pada novel
Jala, karya Titis Basino PI. Novel tersebut bertokoh utama Pamuji, tetapi
cerita disampaikan oleh istrinya, Maryati.
Pada sudut pandang diaan maha tahu, pencerita berada di luar cerita dan
menjadi pengamat yang mengetahui banyak hal tentang tokoh-tokoh lain.
Hal ini berbeda dengan diaan terbatas, karena hanya tahu dan
menceritakan tokoh yang menjadi tumpuan cerita saja. Penggunaan sudut
pandang ini amat jarang ditemui karena dengan detil tokoh yang terbatas,
cerita menjadi tidak hidup.
Penggunaan sudut pandang diaan maha tahu, misalnya tampak pada
cerpen “Lintah” karya Djenar Maesa Ayu.
Tahu saya memelihara Lintah. Lintah itu dibuatnya sebuah kandang yang mirip
seperti rumah boneka berlantai dua, lengkap dengan kamar tidur...
Gaya dan Nada
Gaya (gaya bahasa) merupakan cara pengungkapan seorang yang khas
bagi seorang pengarang. Gaya meliputi penggunaan diksi (pilihan kata),
imajeri (citraan), dan sintaksis (pilihan pola kalimat).
Nada berhubungan dengan pilihan gaya untuk mengekspresikan sikap
tertentu.
Sepanjang hidup saya melihat manusia berkaki empat. Berekor anjing,
babi atau kerbau. Berbulu serigala, landak atau harimau. Dan berkepala
ular, banteng atau keledai. Namur tetap saja mereka bukan binatang. Cara
Bahasa Indonesia 2
Paket 3 Unsur-unsur Karya Sastra 3 - 26
mereka menyantap hidangan di meja makan sangat benar. Cara mereka
berbicara selalu menggunakan bahasa dan sikap yang sopan. Dan
mereka membaca buku-buku bermutu. Mereka menulis catatan-catatan
penting. Mereka bergaun indah dan berdasi. Bahkan konon mereka
mempunyai hati.
(Djenar Maesa Ayu, “Mereka Bilang, Saya Monyet, 2003)
Pada kutipan tersebut pengarang menggambarkan sosok manusia yang
memiliki kepala dan ekor binatang. Pilihan tersebut untuk
mengekspresikan sikap dan nada pencerita terhadap tokoh-tokoh yang
diceritakan yang dimetaforkan sebagai manusia yang memiliki karakter
serupa binatang.
Tema
Tema merupakan makna cerita. Tema pada dasarnya merupakan sejenis
komentar terhadap subjek atau pokok masalah, baik secara eksplisit maupun
implisit. Dalam tema terkandung sikap pengarang terhadap subjek atau
pokok cerita. Tema memiliki fungsi untuk menyatukan unsur-unsur lainnya.
Di samping itu, juga berfungsi untuk melayani visi atau responsi pengarang
terhadap pengalaman dan hubungan totalnya dengan jagat raya (Sayuti, 2000).
Tema dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu tema jasmaniah,
yang berkaitan dengan keadaan jiwa seorang manusia. Tema organik
(moral) yang berhubungan dengan moral manusia. Tema sosial yang
berhubungan dengan masalah politik, pendidikan, dan propaganda. Tema
egoik, berhubungan dengan reaksi-reaksi pribadi yang pada umumnya
menentang pengaruh sosial. Tema ketuhanan yang berhubungan dengan
kondisi dan situasi manusia sebagai makhluk sosial (Sayuti, 2000).
Tema ditafsirkan melalui cara-cara berikut.
• Penafsir hendaknya mempertimbangkan tiap detil cerita yang
dikedepankan.
• Penafsiran tema hendaknya tidak bertentangan dengan tiap detil cerita.
• Penafsiran tema hendaknya tidak mendasarkan diri pada bukti-bukti yang
tidak dinyatakan baik secara langsung maupun tidak langsung.
• Penafsiran tema haruslah mendasarkan pada bukti yang secara langsung
ada atau yang diisyaratkan dalam cerita (Sayuti, 2000).
Bahasa Indonesia 2
Paket 3 Unsur-unsur Karya Sastra 3 - 27
Latihan
1. Temukan sebuah puisi lama kemudian analisislah unsur-usnur yang
terkandung di dalamnya.
2. Saksikan pementasan drama di kampus atau di sekitar tempat tinggal
Anda. Analisislah unsur-unsur yang membangun pementasan drama
tersebut.
3. Temukan sebuah cerpen anak. Analisislah unsur-unsur yang terkandung
dalam cerpen yang telah Anda temukan tersebut.
Rangkuman
1. Unsur puisi adalah bunyi, diksi, bahasa kiasan, citraan, sarana retorika,
bentuk visual, dan makna.
2. Diksi adalah pilihan kata atau frase dalam karya sastra citraan (imagery)
merupakan gambaran-gambaran angan dalam puisi yang ditimbulkan oleh
efek kata-kata seperti citraan penglihatan, citraan pendengaran, rabaan,
pengecapan, penciuman, dan gerak.
3. Makna merupakan isi puisi yang disampaikan secara langsung maupun
secara tidak langsung, implisit atau sim-bolis. Makna berisi pengalaman
dan permasalahan yang dialami dalam kehidupan manusia.
4. Unsur pembangun drama adalah: tema dan amanat, alur (plot),
penokohan (perwatakan, karakterisasi), latar (setting), cakapan (dialog),
lakuan (action), sedangkan unsur cerita meliputi tokoh, alur, latar, judul,
sudut pandang, gaya dan nada, dan tema.
5. Unsur pembangun cerita adalah: tokoh, latar, judul, sudut pandang, gaya/
nada dan tema.
Bahasa Indonesia 2
Paket